Sabtu, 26 Februari 2011

Perjuangan Islam Politik dalam Menegakkan Syariat Islam di Indonesia

Islam politik adalah sebutan bagi sebuah gerakan yang menganut paham kesatuan agama (islam) dan negara (politik). Istilah islam politik sering digunakan pengamat dalam mencermati suatu gejala politik kekuasaan yang mengatasnamakan agama. Islam politik juga berarti perilaku individu atau kelompok yang melandaskan perjuangan islam pada penegakkan syariat dan negara islam.
Islam Politik Orde Lama
Pada masa orde lama, umat islam memang hanya mengenal teori tunggal tentang kesatuan agama dan negara. Sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan dan terkait erat baik secara legal-formal maupun substansial.
Keyakinan mereka akan kesempurnaan ajaran islam yang meliputi urusan politik dan bernegara meniscayakan upaya pendirian negara islam dan penegakkan syari’at islam sebagai cita-cita bersama. Ketika itu semua parpol islam dan ormas islam --termasuk NU dan Muhammadiyah—memiliki pandangan yang seragam dalam menentukan agama (islam) sebagai dasar negara.
Apa yang terjadi dalam sidang PPKI satu hari pasca kemerdekaan diproklamirkan, telah menunjukkan perjuangan islam politik dalam memformalkan agama di kehidupan bernegara.
Pimpinan-pimpinan organisasi islam ketika itu sangat menginginkan agar sila pertama yang berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ jangan dihapus. Ini adalah hasil keputusan Piagam Djakarta yang harus dimasukkan dalam konstitusi. Meskipun upaya di atas akhirnya kandas dan berujung pada kemenangan kaum sekuler, akan tetapi perjuangan islam politik tidak berhenti sampai di situ.
Pasca pemilu pertama yakni tahun 1955, perwakilan umat islam di parlemen yang cukup banyak jumlahnya ketika itu, kembali berusaha memasukkan Piagam Djakarta dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang baru. Tapi lagi-lagi upaya ini menemui ‘kekalahan’. Perumusan Undang Undang Dasar yang hampir mendekati rampung tersebut, akhirnya dihentikan Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain ialah permbubaran konstitunte dan kembali pada Pancasila serta UUD ’45.
Islam Kultural Orde Baru
Meninggalkan hingar-bingar politik aliran, memasuki masa orde baru, para cendekiawan muslim berupaya merumuskan kembali teori politik islam yang lebih sesuai dan kompatibel dengan perkembangan jaman. Selain karena kegagalan berulang-ulang perjuangan islam politik pada masa orde lama, generasi baru ini merasa perlu mengkoreksi praktek politik islam para pendahulunya.
Dari sini lah kemudian dikenal ‘istilah baru’ islam kultural sebagai anti tesis dari praktek islam politik ‘yang lama’. Tesis islam kultural ini lebih menekankan pendekatan substansial ketimbang formal. Teori politik islam substansialistik ini pula yang beranggapan bahwa hubungan antara agama dan negara tidak harus bersifat legal-formal.
Tidak perlu menjadikan agama sebagai dasar negara, akan tetapi ketika pemerintahan dijalankan sesuai dengan nilai-nilai islam seperti; musyawarah, keadilan sosial, kesetaraan di depan hukum dan substansi lain yang terkandung dalam Alquran dan sunnah, maka negara sudah bisa dikatakan islami.
Di tengah realitas politik orde baru yang semakin otoriter kala itu, gerakan islam kultural pun semakin banyak diterima kalangan aktivis muslim terutama ketika rezim memaksakan asas tunggal Pancasila kepada seluruh Ormas dan parpol. Pancasila berhasil menjadikan Indonesia bukan negara islam bukan pula negara sekuler.
Tiga Tipologi
Perjuangan islam politik dalam sejarah republik telah mewarnai perkembangan pemikiran umat islam Indonesia. Sehingga di era reformasi dewasa ini, teori politik islam tidak lagi tampil dalam satu wajah. Umat islam di tanah air memang menganut kitab dan sunnah yang satu, akan tetapi pada prakteknya mereka terbelah-belah dalam sengketa pemahaman yang berbhineka
Meskipun demikian,  upaya menafsirkan kembali hubungan agama dan Negara, biasanya hanya bermuara pada tiga teori utama yakni; kelompok formalis, sekuler dan substansialis. Dengan kata lain ialah; mereka yang mengingini penyatuan agama dan Negara, mereka yang hendak memisahkan agama dari Negara, serta mereka kaum moderat yang tidak mau dimasukkan dalam dua kutub ekstrem di atas. 
Tiga tipologi pemikiran di atas kerap muncul ke permukaan terutama ketika menemui isu-isu pemberlakuan syariat Islam, perda syariat, dasar negara dan kebangkitan Islam di masa depan

0 komentar:

Posting Komentar