Sabtu, 05 Februari 2011

Natsir dan Warisan yang Terabaikan

natsir2.jpg
13-08-2007
Sangatlah berbeda, orang yang mati tapi bila menyebut namanya kita merasa hidup, dengan orang yang masih hidup tapi bila menyebut namanya kita merasa mati. (Ibnu Qayyim)
Di tengah kegalauan batin kita melihat kondisi umat Islam saat ini, jalannya nasib bangsa yang terancam bahaya kehancuran dan diombang ambingkan gerak sejarah yang menuju labirin ketidakpastian, rasanya, kenangan akan sosok Mohammad Natsir amat pantas untuk kembali dihidupkan. Adalah kerinduan yang wajar untuk mengangankan kehadiran manusia seperti Natsir dengan segala semangat, kejujuran, kecerdasan intelektualitas, ketulusan dan empati kepemimpinannya. Namun sayang seribu sayang, kita tak mungkin lagi berharap Natsir akan datang. Natsir amat mungkin ingin sekali datang, tapi makhluk sejarah hari ini tak sudi akan kedatangannya.
Mohammad Natsir adalah tokoh sejarah yang malang dan terlupakan. Peran pentingnya seolah hilang karena rekayasa sejarah politik dan kemanusiaan yang banyak diarahkan untuk selalu sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Sejarah yang tertuang dalam lembaran kertas bisa saja mengebiri, memburukkan dan meniadakan jasanya, namun sejarah sebagai fakta tak pernah bisa berdusta, tetap saja akan selalu ada orang-orang yang mau jujur dan mengakui eksistensi sejarah Natsir.
Natsir adalah tokoh sejarah yang menurut filsuf sejarah, tokoh dengan kualitas kemanusiaan seperti dia hanya akan muncul sekali dalam satu abad untuk sebuah bangsa. Dalam dirinya melekat beragam kelebihan yang jarang sekali tergabung pada diri seseorang. Dia memiliki kefasihan sebagai seorang intelektual, kejernihan seorang ulama, kearifan seorang negarawan dan kecintaan seorang pemimpin yang tiada pamrih terhadap umat dan rakyatnya. Kharisma, integritas dan moralitas kepemimpinannya banyak memberi inspirasi dan teladan bagi para intelektual dan pemimpin periode berikutnya.
Tanpa maksud mengabaikan tokoh lain yang telah berjasa besar terhadap bangsa ini, Natsir sekian kali memberikan kontribusi sejarah yang menentukan. Natsir adalah mentri penerangan pertama di awal negeri ini lahir sebagai sebuah negara yang merdeka. Di saat negeri ini terpecah-pecah menjadi negara serikat sebagaimana yang dimaui penjajah Belanda, Natsir dengan pikiran yang brilian mencoba menyelamatkannya. Mosinya yang kemudian dikenal dengan “Mosi Integral Natsir” merangkai kembali Indonesia sebagai negara kesatuan yang utuh yang telah berjalan lebih 50 tahun lamanya, namun dalam beberapa tahun terakhir terancam tercabik-cabik. Berbekal Mosi Integral Natsir inilah Sukarno meresmikan kembali Indonesia sebagai negara kesatuan pada 17 Agustus 1950. Peristiwa ini adalah proklamasi kedua republik ini setelah proklamasi 1945. Berkat jasanya ini Sukarno kemudian mengangkatnya sebagai perdana mentri, namun karena sifat lurusnya ia kemudian mengundurkan diri dari jabatan itu.
Pada masa mudanya Natsir sering berpolemik di media massa dengan Sukarno tentang beragam persoalan serius dan fundamental. Setelah kemerdekaan kedua tokoh ini bersatu dalam sebuah pemerintahan. Sukarno sering berdiskusi tentang soal-soal kenegaraan dengan Natsir, bahkan sering dimintai untuk menulis pidato Sukarno. Namun pada masa pertengahan pemerintahan Sukarno, kedua sahabat ini mulai sering berbeda sikap. Sukarno mulai menjadi otoriter dengan mewujudkan demokrasi terpimpin setelah sebelumnya membubarkan Konstituante yang merupakan hasil Pemilu 1955 yang amat demokratis. Natsir sebelumnya bersama Hatta sudah sering mengingatkan Sukarno, namun Sukarno sudah menjadi “berkepala Batu” dan tak mau lagi menengarkan nasehat orang. Keiikutsertaan Natsir dalam PRRI adalah salah satu bagian dari itu.
Perjalanan sejarah dua orang yang pernah dekat ini akhirnya berbalik, PRRI menjadi alasan bagi Sukarno dan para petualang di lingkaran kekuasaannya untuk memenjarakan Natsir dan partai Masyumi pun diultimatum untuk bubar. Masyumi bubar sebelum batas hari terakhir yang ditentukan Sukarno. Natsir dan banyak tokoh lainnya kemudian dikandangkan ke dalam penjara tanpa sebuah proses pengadilan. Karena tak mau mendengar nasehat dari para sahabatnya seperti Natsir, Hatta, Syahrir, dan lain-lain, akhirnya Sukarno menuai badai dari sikap keras kepalanya. Pada tahun 1966 ia jatuh dari kekuasaannya.
Kejatuhan Sukarno dengan Orde Lamanya, rezim negeri ini berpindah ke tangan Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto. Pada masa ini Natsir dibebaskan, ia ingin kembali meneruskan perjuangan. Namun watak rezim ini tak jauh beda dengan rezim sebelumnya, malahan perilaku rezim Orba ini jauh lebih buruk. Partai Masyumi sebagai wadah perjuangan politik Natsir, dengan segala rekayasa tak diizinkan lagi untuk hidup. Sejak itu Natsir berhenti berjuang lewat proses politik kepartaian. Ia dan kawan-kawan kemudian mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Sampai akhir hayatnya, di sinilah ia menjalankan kiprah pengabdian untuk umat dan bangsanya.
Walau tak diberi tempat dalam ranah politik formal kenegaraan pada zaman Orba, Natsir tak pernah berhenti memberikan kontribusi terhadap bangsanya. Ia membantu memperbaiki hubungan dengan Malaysia, ia mengirim surat pada Tengku Abdurrahman, pemimpin Malaysia saat itu. Karena rasa hormatnya pada Natsir, hubungan Indoinesia dengan Malaysia kembali membaik.
Natsir pula yang berperan besar agar Jepang memberikan bantuan keuangan pada pemerintah Indonesia, setelah Suharto pulang dari kunjungannya ke negara Matahari Terbit itu dengan tangan hampa. Dengan sebuah surat Natsir yang ditujukan pada PM Jepang Takeo Fukuda, didirikanlah IGGI (International Govermental Group for Indonesia). Bantuan Jepang dan negara lain pun cair. Juga yang tak bisa dilupakan adalah uluran tangan Natsir untuk menjalin persahabatan anatara Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah. Sejak itu, hubungan Indonesia dengan negara-negara kaya minyak itu berjalan dengan baik hingga berdampak tak sedikit kucuran bantuan yang diterima Indonesia.
Banyak lagi peran Natsir yang pernah mengharumkan nama Indonesia di tingkat internasional. Ia pernah menjadi Presiden Liga Muslim se-Dunia (Islamic World Congres). Ia pernah menjadi Sekjen Rabithah A’lam Islami, Ketua Dewan Masjid se-Dunia. Pernah hampir dipilih menjadi Presiden OKI (Organisasi Konferensi Islam), namun ia mundur sebelum dicalonkan.
Terlalu banyak jasa yang telah diberikan Natsir pada negeri ini, baik pada masa pergerakan kemerdekaan, pada masa Orla, tidak sedikit pula pada zaman Orba, apalgi jika dihitung pengaruh internasionalnya dalam membangun citra bangsa dan umat Islam Indonesia. Namun, tak ada balasan yang baik dari pemerintahan negeri ini terhadap Natsir. Ia dicap sekadar pemberontak, peran besarnya dihilangkan dari lembaran sejarah. Sadar atau tidak, penggelapan sejarah ini juga didukung oleh para sejarawan. Orang yang peran sejarahnya kecil atau malahan tidak jelas sama sekali, begitu mudah dibesar-besarkan malahan dinobatkan sebagai pahlawan, namanya diabadikan pada gedung jalan dan dimonumenkan. Sementara Natsir dan tokoh sejarah lainnya ditenggelamkan.
Kita adalah bangsa yang tega “membunuh” Natsir sehingga peran besarnya sebagai seorang pejuang, pemikir, pembela umat dan pendiri bangsa dilupakan. Generasi hari ini rata-rata tidak tahu peran sejarah yang telah ditorehkan Natsir. Bahkan Natsir pernah jadi perdana mentri pun hampir tak ada generasi hari ini yang mengetahuinya. Kalaupun ada yang mengenali Natsir, itu tak lebih terkait dengan PRRI. Natsir adalah pemberontak.
“Pembunuhan” dan pengabaian terhadap Natsir ini tak hanya dilakukan oleh para tokoh yang merupakan musuh politiknya, namun yang menyedihkan adalah, sadar atau tidak, para pengikut Natsir pun banyak yang ikut “membunuh” kehadiran Natsir dari lingkungan sejarah dan kehidupan hari ini. Natsir yang bekerja keras untuk mempersatukan umat, namun sebahagian besar orang yang mengklaim diri sebagai pengikutnya, karena kepicikan dan hawa nafsu lebih senang akan perseteruan dan perpecahan. Natsir terbiasa akan kesederhanaan, namun banyak pengikutnya, lebih senang akan kemewahan. Natsir amat peduli akan nasib rakyat kecil, namun sebagian pengikutnya hari ini yang punya posisi penting dalam kekuasaan, bungkam akan penderitaan rakyat. Sungguh ironi, para pengikut Natsir seringkali dengan fasih menyebut-nyebut kemuliaan Natsir dan mengajak orang lain untuk menauladaninya, Namun mereka sendiri jauh dari perilaku hidup yang telah dicontohkan Natsir.
Natsir dan warisannya yang terabaikan
Bukan bermaksud melebih-lebihkan, Natsir adalah manusia multi dimensi. Ia tak hanya sekadar tokoh politik Islam dan seorang ulama, namun dalam dirinya melekat beragam dimensi lainnya. Ia adalah seorang intelektual Muslim par excellent yang menguasai khazanah ilmu-ilmu keislaman dengan amat luas. Ia memahami tafsir, hadis, fikih dan syariah. Ia paham bahasa Arab dan sejarah. Kemampuannya ini menjadikan Natsir bisa memahami agama secara lebih holistik dan komprehensif. Agama tak hanya dipahami sebagai persoalan keakhiratan namun juga bagaimana mengatur dunia sehingga menjadi lebih baik dan memberikan kemaslahatan.
Di sisi lain, Natsir, karena latar belakang pendidikan formalnya, ia amat menguasai, sejarah, filsafat, kebudayaan dan peradaban Barat. Ia juga amat menguasai beragam bahasa dari Barat. Ia juga mengerti dengan sangat kuat banyak perspektif dan terminologi ilmu pengetahuan Barat yang sesungguhnya hanya mampu dikuasai para sarjana berpendidikan tinggi. Tak hanya itu, ia juga mengerti dengan amat baik berbagai pengetahuan tentang agama lain di luar Islam.
Lebih dari itu, Natsir juga akrab dengan produk-produk kebudayaan Barat dan Islam. Mungkin sedikit sekali yang tahu, Natsir ternyata juga amat menggemari dan memiliki apresiasi yang baik tentang musik. Saat bersekolah di AMS Bandung, ia pernah memimpin orkestra. Natsir cukup piawai dalam memainkan beragam alat musik. Natsir juga amat menyukai karya-karya komponis asal Austria seperti Wolfgang Amadeus Mozart, komponis Jerman Ludwig van Bethoven, dan konon Natsir juga amat menikmati lagu-lagu Ummi Kaltsum—legenda musik asal Mesir.
Natsir adalah tipe manusia pemebelajar yang haus akan banyak ilmu dan pengetahuan. Semuanya ia pelajari dengan sungguh-sungguh baik melalui pendidikan formal maupun yang ia dapatkan secara otodidak. Ia adalah manusia yang identik dengan buku dan khazanah ilmu. Kemampuannya ini menjadikan Natsir sebagai penulis banyak menghasilkan buku dan karya tulis lainnya. Sampai hari tuanya Natsir tak lepas dari aktivitas menulis dan membaca. Beragam buku yang ditulis Natsir, mulai dari fikh, kebudayaan, politik kebangsaan, idiologi, hubungan antaragama, kebudayaan dan peradaban, dan banyak pikiran pentingnya terkumpul dalam sebuah buku yang merupakan magnum opusnya Capita Selecta yang terdiri dari dua jilid yang amat tebal.
Natsir tak hanya paham tentang segala sesuatu yang besar-besar, tapi ia juga mengerti hal-hal yang kecil dan detail. Natsir tak meremehkan hal-hal kecil dan sepele, tapi ia juga tak menganggap berat hal-hal yang besar. Natsir sering menyampaikan, masalah-masalah kecil kalau dibiarkan, suatu saat akan menjadi besar. Tapi masalah-masalah besar kalau segera dikerjakan, suatu saat akan menjadi kecil.
Natsir adalah sosok pemimpin yang sederhana namun berkharisma. Sebagaimana banyak tokoh-tokoh bangsa pada periode sejarah sebelumnya, penampilan, keseharian dan gaya hidup Natsir jauh dari segala kemewahan. Yang dipikirkan Natsir bukanlah dirinya, tetapi selalu umat dan bangsanya.
Dari keseluruhan diri Natsir, banyak hal yang telah dia wariskan. Natsir merupakan warisan ilmu dan teladan kepemimpinan. Namun umat hari ini mengabaikan warisan itu. Umat Islam Indonesia hari ini tetap saja menjadi umat yang terbelakang, miskin dan terpecah belah. Jika umat Islam hari ini mencoba belajar dan menauladani dengan sungguh-sungguh segala awrisan Natsir dan tokoh-tokoh lain, niscaya kondisi sejarah umat tidaklah akan separah saat ini. Namun apa hendak dikata, bangsa ini memang selalu terbelakang dan pelupa, sehingga warisan dengan harga setinggi apa pun selalu diabaikan.
Bagi sebagian kecil orang, mengutip Ibnu Qayyim di atas, mendengar nama Natsir mampu menghidupkan. Namun bagai sebagian orang atau bahkan yang mengaku pengikutnya sekalipun, mendengar nama Natsir tak mampu lagi menghidupkannya. Natsir bagi sebagian orang mungkin tinggal sekadar kenangan. Kebaikan, keluhuran, keistikamahan dan kecintaan Natsir terhadap umat terlupakan. Warisan Natsir pun terabaikan.
Oleh Abel Tasman

0 komentar:

Posting Komentar