Selasa, 22 Februari 2011

Hak Buruh dalam Islam

Menurut Dr. Saad Ibrahim, MA (2008), hadits buruh ini setidaknya mempunyai dua makna penting. Pertama, bahwa buruh mempunyai hak-hak sebagaimana yang dimiliki oleh pemilik modal, sebagai konsekuensi sama-sama sebagai manusia. Pemilik modal tidak boleh melakukan eksploitasi (menzalimi) buruh, dengan memberikan haknya sesegera mungkin sesuai dengan mekanisme yang telah menjadi kesepakatan bersama ('an taradh).
Kedua, maksud "sebelum keringatnya habis", adalah jangan sampai pengusaha memberikan gaji yang membuat buruh tidak bisa berkeringat, yang secara medis teridentifikasi sebagai orang tidak sehat. Sehingga gaji minimal yang diberikan seharusnya mampu memenuhi kebutuhan hidup buruh, baik rohani, pangan, sandang, papan, dan lain-lain yang dalam tradisi kekinian seringkali disebut Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Melihat sejarah dan dalil naqliyah itu, terlihat jelas bahwa hubungan buruh dan pengusaha harus dilandasi dengan ruh Tauhid. Tauhid mengandung makna pembebasan terhadap ketimpangan dan ketidakadilan, yang tentunya dilandasi oleh sinar keadilan. Pandangan tauhid selain melahirkan keyakinan akan kesatuan penciptaan (unity of creation), juga berarti kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan pedoman hidup (unity of guidance), dan kesatuan tujuan hidup (unity of tbe purpose of life) manusia (Amien Rais: 1998)
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, keharmonisan buruh-pengusaha harus difasilitasi oleh negara secara adil. Meski Islam tidak pernah menawarkan bentuk ideal sebuah negara, tetapi agama ini memberikan rambu-rambu penting bagaimana sebuah negara disebut sebagai negara Islami dalam makna substantif. Bahwa negara adalah pemerintahan yang melindungi warga negaranya, bersikap adil, serta memenuhi hak-hak orang miskin dan teraniaya.
Menurut al-Mawardi, negara adalah institusi yang bertugas meneruskan misi kenabian untuk memelihara agama, serta memberikan kesejahteraan kepada warganya (Al-Imamah hiya maudlu'ah li khilafah al-nubuwah fi hiraasah al-din wa siyayah al-dunya). Sedangkan dalam kacamata Imam Ghazali, setidaknya ada 5 hak warga yang harus dilindungi oleh negara, yaitu hak hidup dan keselamatan jiwa raga, menjalankan keyakinan, penggunaan akal budi, harta benda, serta kehormatan dan keturunan.
Bagi lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif yang tidak mengindahkan buruh, mereka inilah yang terkategorikan sebagai pendusta agama. Ciri pentingnya adalah mereka antisosial, dengan tidak memedulikan anak yatim ekonomi dan sosial, serta orang miskin secara politik (QS. al-Ma'un/107: 1-3). Pengusaha yang terus menumpuk harta dan mengabaikan nasib buruhnya, mereka inilah yang telah disindir oleh Tuhan dalam surat al-Takatsur sebagai calon penghuni Jahanam (QS. 112: 1-8).
Karena itulah, sudah saatnya buruh diposisikan secara sejajar dengan manajemen (pengusaha) sebagai mitra yang juga mempunyai hak untuk diperlakukan layak dalam hal upah, jasa, kesehatan, dan keamanannya dalam bekerja. Pengusaha mestinya sadar bahwa keringat buruh harus dihargai secara layak, karena buruh pasti juga akan membalasnya dengan ikhtiar yang lebih.

Lebih lanjut tentang: Hak Buruh dalam Islam

0 komentar:

Posting Komentar