Minggu, 12 Desember 2010

REVITALISASI PERAN PARTAI BULAN BINTANG. PDF
REVITALISASI PERAN PARTAI BULAN BINTANG


Oleh : Ir. Nizar Dahlan, M.Si. 

Partai Bulan Bintang (PBB) sejak didirikan semata-mata untuk memperjuangkan sistem, bukan untuk mendorong kemenangan perorangan atau kelompok kecil (sebut;penguasa), tapi lebih pada masyarakat bawah terutama umat Islam. Sementara sistem yang dimaksud adalah "tata aturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkeadilan, demokratis dan bermartabat." Strategi perjuangan partai lebih difokuskan pada pemenuhan aspirasi umat dan bangsa, melakukan reformulasi sistem negara dan pola pembangunan demi terwujudnya masyarakat dan negara yang maju, mandiri, makmur dan sejahtera. Perjuangan dalam penegakan sistem semacam itu, tentu harus ditopang dengan semangat pengabdian dan pengorbanan yang cukup besar. Karena itu, partai ini menjadi ajang bagi mereka yang ingin belajar, berjuang dan mengabdi pada bangsa dan negara Indonesia tercinta.

Cikal bakal partai yang dimulai dari pembentukan Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI) pada 12 Mei 1998, mengamanatkan sebuah partai umat yang kemudian berdirilah Partai Bulan Bintang pada 17 Juli 1998 dengan lokasi Deklarasi di Halaman Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Bergabungnya para elemen aktivis Islam ke dalam BKUI maupun partai, menunjukan adanya haraapan yang tinggi terhadap kebesaran dan keberhasilan perjuangan partai ini. Yakni sebuah partai Islam yang diharapkan mampu memperjuangkan aspirasi umat dikala umat semakin lama mengalami perlakuan yang tidak adil dan kesewenang-wenangan dari penguasa. Meskipun pada saat berdirinya partai ini terdapat partai Islam yang cukup besar, namum keberadaannya dinilai gagal bertahun-tahun memperjuangkan nasip umat Islam. Sebab itulah sebelum didirikannya partai, BKUI menjadi tempat ajang silaturrahmi dan berdiskusi oleh berbagai elemen aktivis muslim yang nyata-nyata menyaksikan dan mengalami sendiri perlakuan negara yang zalim selama itu.
Pembentukan partai melalui semangat ukhuwah ini kemudian menjadi pilihan utama para aktivis muslim. Keberadaan partai sebagai pilihan utama dengnan sendirinya menimbulkan over espectation bagi publik. Besarnya harapan publik tersebut merupakan kepercayaan dan amanat terhadap pimpinan partai yang bersih, program kerja partai yang progresif dan dilandasi oleh niat serta semangat yang luhur. Menjadi partai utama, adalah hal yang patut untuk direnungkan kembali setelah melewati tiga kali pemilihan umum (1999, 2004 dan 2009). Apakah partai ini mampu bangkit kembali untuk menjadi partai alternatif dalam berkompetisi dengan partai-partai lain ?
Lambang partai yakni menampilkan Bulan dan Bintang memang telah merujuk pada historis partai. Sebagai metamorfosa Partai Masyumi Baru, keberadaan PBB jelas berbeda dengan Partai Masyumi sebelumnya. Lambang Bulan dan Bintang tersebut bukan semata-mata bermaksud membangkitkan ikatan emosional konstituen belaka, namun PBB harus didukung dengan kesadaran rasional para pimpinan dan basis massa partai untuk menjadikan partai masa kini, yakni partai Islam yang progresif. Tugas yang utama sebagai partai politik adalah melakukan pendidikan politik kewarganegaraan secara rasional dan mencerahkan. Keberhasilan dalam melakukan pendidikan politik tersebut semakin membawa PBB ke tengah arus kebangsaan Indonesia yang plural, yaitu Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa, bahasa, agama dan kepercayaan, sehingga PBB harus mampu menjadi partai pemersatu, partai pro perdamaian, partai pro pluralitas dan partai pro Pancasila. Dengan demikian hukum relativitas pada paradigma progresif telah berlaku. Bagi warga Muhammadiyah misalnya, bukan tidak mungkin untuk memilih PKB, begitu juga warga Nahdlatul Ulama dan warga non muslim pada umumnya sangat terbuka kemungkinannya untuk menyalurkan aspirasi melalaui PBB. Jika hukum di atas belum menjadi kenyataan, masyarakat masih memilih partai politik atas dasar sentimen emosional, maka pendidikan politik oleh partai-partai politik di Indonesia belum berhasil.
PARTAI ISLAM PROGRESIF - DEMOKRATIS
Sebagai partai politik yang berasaskan Islam, PBB senantiasa mengusung nilai-nilai Islam sebagai metode transendensi untuk menegakan kebenaran. Begitu juga demokrasi merupakan hasil pergulatan pemikiran manusia sebagai sistem pemerintahan rakyat yang terpilih saat ini. demokrasi tanpa spiritualitas akan menyimpang dan gagal sebagai sistem yang mengatur kondisi psikis dan sosiologis suatu bangsa dan negara. Demokrasi merupakan akal dan sikap untuk mencapai kebaikan bersama, karena itu mendukung sistem demokrasi merupakan tanggung jawab hukum partai politik Tokoh Teori "Kontrak Sosial".Jean Jacques Rousseau dari Prancis sebelumnya juga mengingatkan bahwa "demokrasi yang esensial adalah hukum Tuhan, bukan hukum manusia". Dijelaskan pula oleh Jacques Maritain, " Sebenarnya tragedi demokrasi modern semata karena demokrasi tersebut tidak sukses mewujudkan demoklrasi itu sendiri ". Bila dalam berdemokrasi tidak dapat menjawab tuntutan manusia, maka apa yang tersisa dalam demokrasi ? Di mana letak sandaran demokrasi ?. Maka dengan tegas partai ini memiliki sandaran demokrasi secara spiritual yaitu Islam.
Syeikh Ali Abdul Raziq dalam bukunya Al-Islam wa Ushulul Hukmi, telah memposisikan secara ideal hubungan antara Islam dengan demokrasi. Menurutnya, Islam adalah dakwah dan risalah spiritual yang tidak terikat oleh pranata politik tertentu. Keberadaan dakwah tersebut sepenuhnya menjadi milik umat manusia untuk diterapkan secara teknis struktur pirantinya. Islam lebih merupakan kebenaran dan dasar Azali yang diwahyukan oleh Allah SWT. Sementara demokrasi merupakan kaidah yang terus menerus akan mengalami perubahan dan muncul dari akal sehat manusia.
Nilai-nilai spiritual seharusnya menjadi tujuan dan paradigma untuk diterapkan disetiap jaman dan dimana saja. Kita harus pionir dalam menerapkan nilai-nilai seperti ini, sebab Indonesia merupakan negeri tempat bersemainya umat yang memeluk risalah-risalah samawi. sementara nila-nilai dalam demokrasi bukan amanat dari satu kelompok saja, tapi memang harus kita tepati untuk diri kita, demi perwujudan kehidupan yang luhur dalam rangka membangun bangsa dan negara yang lebih maju. Adanya kesenjangan antara realitas politik dengan nilai-nilai, maka dibutuhkan adanya kearifan spiritualitas yang dapat memunculkan kreatifitas untuk mendekatkan cita-cita ideal tersebut.
Begitu juga relasi antara Islam dengan HAM. sejatinya tidak lagi ada persoalan. Islam secara teologis merupakan instrumen legitimasi dan justifikasi dalam menegakan hak asasi manusia. Spirit semacam itu lebih mengedepankan paradigma transformatif dengan melakukan advokasi terhadap kepentingan umat. kemampuan dalam merespon adanya pengangguran,kemiskinan, ketidakadilan yang disebabkan oleh struktur politik dan ekonomi yang timpang, korup dan sewenang-wenang menjadi tuntutan utama bagi partai politik saat ini untuk memperjuangkannya.
REFORMULASI SYARIAT
Konon isu pemberlakuan syariat Islam menuai kritk dari berbagai kalanngan, terutama dari kalangan Islam sendiri. beberapa alasan kritik yang muncul terhadap syariat konvensional berpendapat, bahwa pemberlakuan syariat akan menomorduakan warga negara non-muslim dan perempuan, serta syariat akan memberlakukan hukuman potong tangan kepada pencuri, memperlakukan perbudakan yang tidak sesuai dengan standar HAM dan lain sebagainya. Jika syariat itu menakutkan bagi sebagian kecil saja warga negara kita, maka sangat diperlukan siasat untuk memformulasikan syariat Islam kedalam bentuk hukum publik.
Syariat Islam bagi PBB menjadi penting karena diyakini akan kebenaraannya. Namun, dalam Islam sendiri tidak dikenal adanya paksaan dalam beragama, sehingga pemberlakuan syariat harus diikuti dengan syarat penting yaitu kompromi dan okomodasi. Pemberlakuannya pun harus konstektual dengan ke-indonesia-an yang plural. Islam sebagai ajaran rahmatan lil'alamin memiliki arti bahwa pada setiap butir ajaran-ajarannya haruslah bermanfaat dan dapat menumbuhkan kebaikan bagi semua umat manusia dan alam. Bukan berarti warga non-muslim tidak memperoleh kenyamanan dari syariat Islam, juga bukan berarti bagi mereka yang menentang pemberlakuan syariat Islam berarti golongan orang yang suka dengan kemaksiatan, sama sekali tidak demikian pengertiannya.
Abdullah A. An-Nai'm (1994) menjelaskan bahwa umat Islam memiliki kebebasan untuk menentukan nasipnya sendiri (self determination). dasarnya adalah, umat Islam bisa menggunakan hak legitimasi kolektif untuk menentukan nasipnya sendiri berdasarkan warisan tradisi mereka, termasuk menerapkan hukum Islam dengan catatan tidak melanggar legitimasi hak perorangan dan kolektif pihak lain, baik di dalam maupun di luar komunitas muslim. Hal ini juga berlaku untuk umat beragama selain Islam. Persoalannya, ketika self determination ini menjadi hukum publik, maka cukup banyak benturan kepentingan di dalamnya, karena itu dibutuhkan mediasi untuk mengakomodasi berbagai bentuk self determination tersebut.
Sebagaimana penjelasan di atas, sistem demokrasi modern tidak akan menjanjikan apapun tanpa adanya sandaran spiritual yang kuat oleh masing-masing pelaksana demokrasi itu. PBB sebagai salah satu pilar pelaksana demokrasi, tidak mau kecolongan untuk kesekian kalinya. Yakni jatuh bangunnya demokrasi di Indonesia hanya memperburuk nasip rakyat, sebut saja pada era Presiden Soekarno dengan sistem pemerintahan Demokrasi terpimpin, Era Presiden Soeharto dengan sistem pemerintahan Demokrasi Pancasila, Era Habibie, Gus Dur dan Megawati dengan sistem demokrasi yang belum signifikan menciptakan kesejahteraan rakyat. Artinya, demokrasi sekuler-total juga akan menafikan nilai-nilai yang selama ini terbangun oleh masing-masing komunitas umat beragama di Indonesia. Ketika nilai-nilai itu dinafikan, maka praktik kekuasaan dan penyelengaraan negara selama ini cendrung semakin korup dan zalim. Tingkah laku KKN tanpa batas, kebijakan yang terus terusan memperparah mustadz'afin dan perebutan jabatan tanpa rasa malu. Hal ini karena para penyelenggara negara lebih suka menyamarkan nilai-nilai budaya, moralitas sosial dan keagamaan untuk melicinkan keinginan mereka.
Atas dasar itu, sebagai partai Islam, PBB menawarkan solusi alternatif atas situasi multi-kritis ini. Adanya perbedaan sudut pandang, khususnya mengenai syariat Islam semakin menantang PBB agar lebi akomodatif dalam mengamalkan substansi syariat. Sebagai substansi memang bagi sebagian pihak memandang tidak perlu diformalkan, karena formalisasi syariat dimungkinkan mengandung unsur paksaan. Karena itu, rumusan pengamalan syariat secara substansi ada baiknya di formulasikan dengan mengambil semangat dan substansinya tanpa mempersoalkan bahasa dan simbolnya. Hal itu membutuhkan kajian yang cukup mendalam dari para kader partai dan kaum intelektual mengenai reformulasi syariat.
(Ciputat, 23 Februari 2010)
------------------------------------
http://laskarhijau.com

0 komentar:

Posting Komentar